Bertahun-Tahun Bertahan di Negara orang, Sampai Kapan?
Bicara tentang PMI (Pekerja Migran Indonesia) memang selalu menarik, karena ada banyak cerita yang beragam dan mungkin hanya difahami oleh sesama PMI itu sendiri, dan mereka yang memiliki concern terhadapa permasalahan PMI.
PMI berasal dari berbagai background kehidupan yang bermacam-macam. Namun pada dasarnya, kondisi ekonomi-lah yang menjadi alasan terbesar, yang membuat mereka harus meninggalkan Indonesia untuk bekerja di negara orang.Tidak semua orang bisa memahami PMI, baik dari latar belakang, kondisi kerja, juga kesehatan mental karena tekanan yang harus dialaminya.
Di sini kita akan mengupas kondisi yang dialami PMI pada umumnya. Khususnya sektor pekerja rumah tangga.
Pada tahap awal ketika PMI baru menginjakkan kaki di negara orang atau masuk ke tempat kerja, pasti mengalami yag nemanya "culture shock". Yaitu perasaan di mana seseorang merasa tertekan serta terkejut ketika berhadapan dengan lingkungan dan budaya sosial yang baru.
Seseorang yang mengalami gegar budaya, biasanya akan merasa cemas, bingung, frustasi, sebab dia kehilangan tanda, lambang, dan secara pergaulan sosial yang diketahuinya dari kultur asal.
Apalagi pekerja di sektor domestik, yang harus bekerja dan tinggal bersama keluarg majikan yang semuanya adalah orang asing. Tentu dibutuhkan mental yang siap untuk adaptasi dan menyesuaikan diri. Rasa cemas pasti selalu dialami karena belum menenal seluk beluk dalam rumah tersebut, juga belum tahu seperti apa watak majikan dan keluarganya. Rasa takut salah dalam setiap melakukan pekerjaan pasti selalu ada.
Secara umum, dibutuhkan waktu tiga bulan untuk bisa benar-benar beradaptasi dengan baik. Bukan sekedar mengenali watak keluarga majikan dan melakukan pekerjaan secara mandiri. Akan tetapi, dalam kurun waktu tiga bulan dianggap cukup untuk melewati rasa "rindu rumah" yang menjadi beban tersendiri bagi keseimbangan mental.
Mengapa PMI Enggan Meninggalkan Pekerjaannya Meskipun Sudah Bertahun-tahun?
Pertanyaan di atas pasti selalu diungkapkan oleh banyak orang kepada PMI. Karena tida sedikit PMI yang sudah puluhan tahun menjalani pekerjaan yang sama, dan seolah enggan untuk meinggalkan pekerjaannya tersebut. Sudah merasa ke'enakan atau memang sudah tidak ingin pulang?
Tidak sesederhana itu dalam mengartikan keadaan yang sebenarnya, karena kita harus kembali ke latar belakang atau back ground dari mana PMI itu berasal.
Secara mayoritas atau sebagaian besar PMI berasal dari daerah, atau bahkan dari desa-desa di Indonesia. Khususnya PMI sektor PRT. Dan memiliki latar belakang pendidikan yang pas-pasan, skill ketrampilan yang tidak cukup memadai.
(Secara mayoritas bukan berarti semuanya).
Masyarakat dengan kondisi sosial seperti itu, tentu saja tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang cukup. Sehingga untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang lebih, namun dengan pendidikan dan ketrampilan yang minim, hanya bisa didapatkan apabila bekerja di luar negeri. Meskipun harus menyiapkan mental yang kuat dengan resiko yang besar.
Menjadi pekerja migran adalah pilihan yang dianggap paling memungkinkan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar, meskipun dengan latar belakang pendidikan yang tidak tinggi.
Setelah menjadi PMI, mendapatkan gaji yang lancar dan bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, kebutuhan hidup semakin tinggi. kondisi dan kebutuhan yang terus meningkat, membuat pekerja migran memiliki rasa takut kehilangan penghasilan yang sudah didapatkan secara rutin, apabila harus berhenti tanpa memiliki persiapan yang matang, termasuk bagaimana bisa mendapatkan penghasilan yang sama besar apabila harus berhenti.
Hal ini sangat wajar, karena pekerja migran (Khususnya PRT) memang kebanyakan berasal dari latar belakang yang terdesak secara ekonomi, dan dari ketrampilan maupun tingkat pendidikan tidak mampu bersaing dalam mendapatkan pekerjaan.
Bisa dibilang, PMI mulai berpikir apa yang akan dilakukan kalau harus berhenti bekerja. Dan untuk itulah, banyak pihak yang peduli dengan keadaan ini lalu mengadakan kursus-kursus pelatihan peningkatan skill, yang diharapkan bisa menjawab persoalan persoalan di atas.
Seperti yang kita ketahui, di Singapura saja setiap hari minggu ada tempat tempat kursus peningkatan skill di berbagai tempat.
PMI pun sangat antusias mmengikutinya karena ingin kalau pulang nanti tidak sekedar membawa uang, akan tetapi bisa membekali diri untuk bisa memulai usaha, dengan berbekal ketrampilan yang dimiliki. Dan ada juga PMI yang sudah memulainya, maupun sudah menjalankan hal tersebut.
Lalu, mengapa banyak PMI yang bertahan hingga puluhan tahun di luar negeri?
Tentu bukan karena terlalu merasa nyaman dan tidak ingin kembali, karena siapapun yang menjadi PMI pasti ingin satu saat kembali ke negeri sendiri. Tetapi PMI yang belum kembali pulangpun pasti melihat atau mengetahui setiap ada sesama PMI yang merasa sudah cukup siap untuk berhenti bekerja dan memulai membuka usaha di kampung halaman.
Kita sebagai PMI tentu melihat itu semua, dan pasti ada keinginan untuk mengikuti jejaknya satu saat nanti. Melihat bagaimana dia memulai dan bagaimana perkembangannya.
Tetapi harus diakui, banyak dari mereka yang hanya dalam waktu setahun dua tahun tiba-tiba kembali lagi bekerja sebagai PMI. Karena apa yang dulu dimulainya ternyata tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan. Tentu hal ini menjadi salah satu faktor yang membuat PMI lainnya memilih untuk menunda kepulangan atau menunda untuk berhenti dari pekerjaannya.
Rasa ragu pasti ada meskipun sambil mencari tahu apa yang menyebabkan hal itu terjadi. Sedangkan kalau dilihat secara kasat mata, mereka sudah memiliki skill atau ketrampilan sebagai bekal yag dimiliki. mereka juga juga sudah memiliki modal yang dianggap cukup untuk memulai usaha meskipun dengan skala kecil.
Tentu hal tersebut juga menimbulkan keraguan tersendiri bagi PMI yang masih sangat bergantung kepada gaji bulanan sebagai penghasilan pokok yang dianggap paling aman. Setidaknya untuk saat ini.
Dengan banyaknya kasus-kasus seperti itu, bukan berarti PMI atau ex PMI tidak layak untuk melakukan hal lain untuk meningkatkan kehidupan ekonominya.
Tetapi hal ini tentu harus diberkan perhatian tersendiri oleh pemerintah dan pihak-pihak yang memiliki concern terhadap PMI. Untuk mengevaluasi kembali apakah kursus-kursus yang disediakan sudah cukup menjawab persoalan ini?
Atau dibutuhkan bekal tambahan yang harus saling berkaitan dengan bekal ketrampilan yang sudah ada dan sudah diberikan. Dan tentunya ada sebuah skema berkelanjutan yang harus disediakan, untuk menjawab persoalan yang tersebut.
Karena bagamanapun, PMI sudah berkontribusi yang sangat besar terhadap ekonomi negra ini.
Salam...
Komentar
Posting Komentar