TAK PERNAH KU SANGKA AKU AKAN MENGHABISKAN MASA TUAKU SENDIRIAN.
Renungan senja seorang mantan PMI yang pernah bekerja di Malaysia. Dia yang pernah menjadi korban human traficking, dan hampir kehilangan nyawa di ujung senapan seorang mandor perkebunan kelapa sawit.
Edisi sebelumnya ...
Kami harus mendekam di tahanan karena di anggap melangar undang-undang imigrasi. Selain di anggap memalsukan data, kami juga bekerja secara ilegal tanpa ada dokumen resmi.
Yang sebenarnya kami adalah korban dari para sponsor atau calo yang memperjual belikan kami layaknya barang.
Ya.
Kami adalah korban human traficking, kami adalah korban dari jaringan perdagangan orang.
Setelah melewati waktu beberapa bulan kami di dalam tahanan akhirnya kami di keluarkan untuk kemudian di deportasi.
Kami di bawa ke pelabuhan dan di seberangkan dengan perahu kecil dengan tangan terborgol satu sama lain. Entah bagaimana nasib kami andai saja ada kecelakaan atau perahu itu terbalik.
Tapi begitulah kenyataannya, kami di perlakukan seperti hewan dan tidak di hargai sebagai manusia.
Aku pun tiba kembali di kalimantan, dan setelah beberapa hari barulah aku bisa mengirim surat untuk istriku. Karena pada waktu itu belum ada HP, apa lagi kondisiku yang berada di tengah perkebunan dan tidak bisa ke mana-mana.
Akan tetapi, sekali lagi dalam situasi dan kondisi yang aku hadapi saat itu. Yang membuat aku tidak bisa pulang dan tidak mungkin untuk pulang karena berbagai alasan.
Dari keuangan, aku tidak punya uang untuk sekedar buat ongkos pulang. Dan dari sisi lain aku sudah terjebak di dalam lingkaran mereka. Karena ketika aku dan yang lain kembali ke kalimantan, kami sudah di terima oleh jaringan calo-calo tersebut.
Dalam keadaan seperti itulah, sekali lagi aku di hadapkan pada sebuah kenyataan, yang aku tidak bisa memilih. Akhirnya aku harus mengorbankan keselamatanku sendiri dan masuk ke dalam perangkap lingkaran mereka.
Aku pun kembali masuk ke Malaysia melalui jalur yang tidak resmi, semua di urus oleh mereka dan aku hanya mengikuti arahan. Karena dengan di tampung di tempat mereka, aku harus bayar kalau mau keluar. Lalu uang dari mana untuk membayarnya?
Jangankan mencari pekerjaan di tempat lain, mau keluar dari sana saja tidak bisa karena mereka juga punya orang yang menjaga kami. Kami memang tidak berada dalam tahanan polisi, tetapi keadaan kami sama seperti dalam tahanan, meskipun tidak berupa sel atau jeruji besi.
Kepergianku yang kedua kali juga di ketahui oleh istriku, karena hanya istriku yang faham saat itu karena anak-anakku masih kecil.
Tapi nasibku masih berada di pusaran kesengsaraan. Sebagai pekerja yang di rekruit dengan cara yang tidak resmi, aku sadar ada konskwensi yang harus aku hadapi.
Aku kembali menjalani hidup yang tidak menentu, seperti pelarian yang sewaktu-waktu harus bersembunyi dari aparat.
Hingga pada satu hari aku pun tertangkap kembali.
Aku pulang dan mendapati istriku yang sedang dalam keadaan sakit. Tapi dia sama sekali tidak marah karena hanya dia yang tahu tentang apa yang aku alami selama aku jauh dari mereka.
Di masa itu hanya istriku yang tahu dan mengerti akan semuanya. Aku pun sengaja menelan semua yang ku alami pada anak-anakku karena aku menunggu waktu yang tepat untuk memberi pengertian pada mereka.
Yang terpenting waktu itu, aku fokus merawat dan mendampingi istriku demi kesembuhannya dulu. Setelah dia sembuh dan semuanya baik-baik saja, aku dan istriku akan menceritakan apa yang sebenarnya aku alami selama ini. Mengapa aku harus pergi, dan mengapa aku harus meninggalkan mereka.
Tapi takdir berkata lain. Istriku meningal dunia setelah sebulan aku menemani hari-hari terakhirnya. Aku terpukul dan kehilangan satu-satunya orang yang mengerti tentang apa yang aku jalani selama aku peri. Apa lagi anak-anakku, mereka sangat kehilangan dan aku tahu itu.
Aku tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi semua ini, bagaimana aku bisa menjelaskan ke anak-anakku sementara satu-satunya orang yang mengerti dan memahami perjalananku selama ini sudah pergi.
Mungkin hal itulah yang membuat anak-anakku kecewa. Mereka kecewa dan marah padaku. Semua itu terlontar lewat pertanyaan yang sangat menusuk perasaanku hingga sekarang.
Sebuah pertanyaan yang aku sendiri merasa tidak punya kekuatan untuk menjawabnya.
Papa ke mana selama ini?
Kenapa papa ninggalin kita?
Ketika mama baru jatuh sakit papa ke mana?
Aku terdiam sambil menahan rasa sesak di dada. lidahku terasa kaku dan kelu untuk sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Aku tidak bisa menjawabnya. Kalau pun anak-anak harus marah, biarlah aku terima saja kemarahan mereka. Karena mereka sudah sangat menderita sejak kecil. Aku merasa gagal menjadi seorang ayah karena tidak mampu memberikan apa yang mereka butuhkan.
Aku tidak mampu memberikan kasih sayang dan perhatian sepenuhnya, bahkan mereka harus kehilangan ibunya yang menjadi sandaran terkuat dalam hidup mereka.
Lelaki itu kembali menghela nafas panjang dan kembali terdiam.
Kemudian dia berkata dengan suara yang sangat pelan dan tertata.
Aku tidak ada maksud untuk menjual ceritaku untuk mendapatkan rasa belas kasihan. Kalaupun anak-anakku masih mengganggap aku bersalah, biarlah aku terima dengan lapang dada.
Di sisa umurku ini aku hanya ingin menyampakan satu hal, biar hatiku lega. Aku hanya ingin mereka memaafkanku kalau memang aku salah di mata mereka. Akan tetapi aku juga ingin mengatakan bahwa aku bukanlah ayah yang seburuk itu. Aku bukanlah seorang laki-laki tidak bertanggung jawab yang meninggalkan keluarganya begitu saja.
Dan aku akan terus mendoakan agar anak-anakku menjadi orang yang berhasil dan mandiri. Serta mendapatkan kehidupan yang bahagia, ketika mereka sudah sama-sama berkeluarga nanti.
Selesai.
Pena Novia Note :
Cerita ini berdasarkan sharing dan komunikasi / interview, dan sudah mendapatkan ijin dari nara sumber untuk d publikasikan.
Pena Novia -PMI Bercerita & Bersuara
Komentar
Posting Komentar