TAK PERNAH KU SANGKA AKU AKAN MENGHABISKAN MASA TUAKU SENDIRIAN
Renungan senja seorang mantan PMI yang pernah bekerja di Malaysia. Diaa yang pernah menjadi korban human traficking, dan hampir kehulangan nyawa di ujung senapan seorang mandor perkebunan kelapa sawit.
Edisi sebelumnya...
Kami berlari berhamburan, berari sejauh-jauhnya menuju ke tegah hutan yang kami rasa lebih aman dari jangkauan pasukan aparat kepolisian.
Semalaman kami tidak bisa tidur, suasana sangat gelap dabn menakutkan. Kami hanya bisa saling bicara untuk memastikaan bahwa kami masih bersama dan berada di tempat yang berdekatan.
Setelah pagi tiba, kami pun mencari jalan pulang menuju mess.
Itulah hari pertama kami menjalani hidup dan bekerja seperti buronan. Kami menjalani hari-hari yang sama, bekerja dari pagi hingga sore hari, lalu menyiaapkan bekal makanan seadanya untuk kami bawa bersembunyi di hutan di malam hari. Lalu kembali ke mess di pagi hari sebelum mulai bekerja.
Hari demi hari kami lalui, bekerja dengan rasa was-was. Namun karena kami sudah terjebak ke dalam kondisi itu, pelan -pelan kami menjadi terbiasa menjalaninya. Menjalani aktivitas hidup yang tidak wajar, berat dan berbahaya.
Kami sudah seperti manusia-manusia yang tidak punya mimpi, tidak punya harapan. Harapan untuk mesa depan yang lebih baik pun sudah terkubur karena keputus asa'an.
Kami hanya menjalaninya untuk bertahan hidup. Saat itu yang terpenting adalah bagaimana kami bisa tetap hidup, walau Bagaimanapun keadaannya.
Ketika sudah berhari-hari tidak ada lagi razia, kami kembali tidur di mess dan bergantian berjaga kalau-kalau ada polisi datang lagi. Karena kami tidak pernah tahu kapan mereka datang, karena biasanya tiba-tiba saja namun tidak bisa di duga.
LOORY YANG DI GUNAKAN UNTUK MENGANGKUT PEKERJA ILEGAL YANG TERKENA RAZIA.
Tibalah hari naas itu.
Betapa tidak, saat kami terlelap tidur tiba-tiba kami di kejutkan oleh suara perempuan yang berteriak. Kami terbangun dan saling bertanya satu sama lain. Kenapa ada suara perempuan di luar? Sementara pekerja di tempat itu semuanya laki-laki.
Suara itu terdengar lagi bahkan lebih dari satu orang. Perempuan itu berteriak dan memanggil-manggil kami untuk bangun dan keluar. Kami pun keluar.
Betapa terkejutnya ketika kami keluar, ada tiga orang perempuan berseragam langsung menodongkan senjata ke arah kami dan mengatakan,: camp sudah terkepung!!!
Kami bagaikan kerbau yang di cocok hidungnya, kami hanya bisa mengikuti ketika digiring ke arah jalan dengan todongan senjata. Dan kami lihat sudah ada dua lorry yang siap mengangkut kami dari perkebunan itu.
Kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali mengikuti perintah mereka. Kami di beri kesempatan untuk mengemas pakaian secukupnya dengan pengawalan. Lalu kami pun di angkut dengan tangan terikat.
Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, dan kami pun di bawa keluar dari perkebunan itu. Tapi kami tahu kalau kami bukan sedang di selamatkan dari tempat kerja yang tidak layak itu, tapi kami di hadapkan pada masalah baru, karena kami adalah pekerja ilegal.
Malam sudah berganti pagi, sampailah kami di balai polisi. Di data satu prsatu, termasuk nama dan kota asal kami di indonesia.
Ternyata semua data kami berbeda dengan yang tertera di pasport, yang selama ini tidak pernah kami sadari.
Kami semua berasal dari kalimantan barat menurut data di pasport, yang sebenarnya 80% dari kami berasal dari Jawa. Dari situlah kami tahu bahwa data kami semua di palsukan tanpa kami ketahui. Karena pada masa itu kami hanya membayar sejumlah uang sebagai persyaratan, dan semua proses di tanggung oleh sponsor.
Setelah pendataan di anggap selesai, kami di angkut menggunakan lorry ke tempat lain. Ke sebuah kantor polisi di Dalat. Dan ternyata di tempat itulah kami di tahan.
Kami di tempatkan di sebuah ruangan yang sangat sempit berukuran 4 x 4 meter. Kami berdesakan di tempat yang sangat tidak layak untuk manusia.
Di dalam ruangan sesempit itu, kami yang berjumlah 48 orang harus tinggal bersama. Sesak, pengap dan panas yang tidak bisa kami hindari, bahkan ada beberapa yang akhirnya jatuh sakit.
Kami di tahan beberapa bulan untukkemudian di sidangkan di mahkamah. Aku benar-benar merasa tak ada lagi gunanya untuk bertaha hidup saat itu.
Perjalanan yang ku lewati sangatlah berat dan tidak pernah ada dalam bayanganku. Harapan untuk masa depan pun perlahan terkubur bersama rasa pasrah.
Aku pasrah dan hanya menunggu, apa pun yang akan terjadi selanjutnya. Hari berganti, minggu demi minggu berlalu, hinga bulan pun terus berganti.
Sampailah pada saat kami di deportasi ke indonesia melalui perbatasan di kalimantan. Tapi kami tidak di perlakukan selayaknya manusia yang di buang tak berguna. Kami di perlakukan seperti hewan.
Menaiki boat kecil, kami di bawa menuju perbatasan, akan tetapi kami tidak di turunkan di pelabuhan seperti lainnya. Kami di bawa dengan tangan terborgol satu sama lainnya.
Yang bila terjadi sesuatu dan kami tercebur ke laut, kami tidak mungkin bisa berenang. Entah apa yang ada di benak mereka sehingga memperlakukan kami seperti binatang.
Setelah kami melewati post perbatasan dan kembali masuk ke kawasan indonesia, kami sudah di jemput oleh sindikat calo yang memang sudah menunggu kedatangan kami. Entah permainan apa lagi yang sedang mereka jalankan. Kenapa kami bisa langsung kembali ke tangang calo?
Bersambung ke part -6
Pena Novia Note :
Cerita ini berdasarkan sharing dan komunikasi, dan sudah mendapatkan ijin dari pihak yang bersangkutan.
Pena NoviaPMI Bercerita & Bersuara
Komentar
Posting Komentar