Langsung ke konten utama

RENUNGANA SENJA KORBAN HUMAN TRAFICKING -part 3

 


TAK PERNAH KU SANGKA AKU AKAN MENGHABISKAN MASA TUAKU SENDIRIAN.

Renungan senja seorang mantan PMI yang pernah bekerja di Malaysia. Dia yang pernah menjadi korban human traficking, dan hampir kehilangan nyawa di ujung senapan seorang mandor perkebunan kelapa sawit.

Edisi sebelumnya ...

Pagi itu setelah bersitirahat dan perbekalan di anggap cukup, kami di  berangkatkan lagi menuju terminal sibu. Kemudian kami di bawa  ke sebuah kota kecil yang di sebut Bandar Mukah dengan menaiki bus.  Begitu rombongan turun dari bus, kami di pindah kami di angkut dengan mobil bak terbuka dengan jarak tempuh kurang lebih dua jam.

Hati mulai was- was ketika kendaraan mulai memasuki daerah pinggiran hutan degan kodnisi jalan yang becek dan tak beraspal. Kami menjumpai puluhan bahkna ratusan monyet bergelantungan di pepohonan yang kami lewati.

Pelan-pelan kami mulai menyadari kalau kami memasuki sebuah ladang oerkebunan kelapa sawit yang jauh dari pemukiman penduduk. Dan kami hidup terisolasi di sana.

SB kembali menghentikan kalimatnya. Seolah enggan untuk mengingat pengalaman demi pengalaman yang pahit, yang pernah di alaminya dulu. 

Sesak dada ini kalau mengingat masa-masa itu. Bukanny aku tidak mau menerima kenyataan atau lemah. Tetapi dari semua rentetan kejadian itu yang membuatku kehilangan semuanya.

Aku kehilangan istriku, dan aku kehilangan kesempatan untuk memberikan pengertian kepada anak-anakku, aku kehilangan separuh kekuatanku untuk menjelaskan semuanya.

Setelah dia kembali menguasai dirinya, lalu dia pun melanjutkan dan mengisahkan perjalannnya.

Dan alangkah terkejutnya ketika kami di suruh turun dari mobil, dan kami melihat sebuah camp di tengah perkebunan yang ternyata di situlah kami harus tinggal. Tempat yang sangat tidak layak untuk sebuah mess atau tempat tinggal, meskipun di tengah perkebunan.

Sebuah gubug reyot dengan dinding pagar ala kadarnya, beratap fiber yang sangat panas menyengat ketika siang terik. Rasanya kami seperti memasuki sebuah tungku peleburan baja saja. Tapi lagi dan lagi, kami tidak punya pilihan. Tidak ada pilihan

Sering kali aku ingin marah rasanya, setiap kali aku ingat janji-janji dari sponsor dengan segala omong kosongnya.

Tapi aku sadar kalau aku dan kawan-kawan sudah terjebak, mau tidak mau kami harus menjalani apa yang ada di depan mata. Karena sekali lagi, kita tidak punya pilihan.



KAMI BEKERJA DARI PAGI HINGGA PETANG NAMUN GAJI KAMI HABIS KARENA DI POTONG BEAYA MAKAN DAN HUTANG KE AGENCY.

Pagi itu adalah hari pertama kami mulai bekerja. Jam tujuh pagi kami semua di briefing / di beri pengarahaan tentang pekerjaan kami sebelum menuju ke ladang. Sungguh pekerjaan yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya, karena kami tidak pernah di beritahu pekerjaan seperti apa yang akan kami terima.

Kami di beri tugas pertama untuk menyemprot rumput dengan menggendong tangki air berkapasitas 16 liter. Jujur saja aku sangat kaget dan agak sempoyongan karena aku tidak pernah melakukan pekerjaan itu. Hari itu sangat melelahkan, kami bekerja di bawah terik matahari yang menyengat, bermandi keringat dan peluh dan tidak ada tempat yang layak untuk beristirahat.

Sekuat apapun sebagai laki-laki, aku sering menangis setiap malam tiba, ketika aku mengingat dan membayangkan istridan anak-anakku di rumah. Mereka yang terpaksa harus aku tinggalkan dengan menjanjikan kehidupan yang lebih baik, tetapi aku harus berhadapan dengan kenyataan yang jauh dari apa yang aku bayangkan.

Ingin rasanya aku keluar dari tempat itu, tapi ke mana?

Kami harus menjalani aktivitas kerja yang berat, tapi tak bisa beristirahat dengan nyaman di malam hari, karena shelter yang kami tempati sangat tidak layak. Tak ada hiburan untuk melepas lelah, kecuali hanya bernyanyi bersama dengan di iringi gitar dan di terangi oleh cahaya obor.

Hari berganti, minggu pun berlalu, tanpa terasa sudah satu bulan kami tinggal dan bekerja di tempat itu. Ada harapan yang sedikit bisa menyingkirkan rasa lelah, rasa marah dan kecewa. Gajian, ya saatnya kami menerima gaji atau upah karena sudah satu bulan bekerja.

Aku sudah membayangkan akan mengirim uang gajiku untuk istri dan anak-anakku setelah di potong uang makanku. Hal itu membuatku bersemangat pagi itu, ada kekuatan yang membuat aku berpikir untuk lebih kuat dan bertahan.

Tapi... Aku lemas seketika setelah membuka amplop yang di bagikan. Aku hanya mendapati uang sebesar 60 ringgit, yang ternyata hanya itulah sisa upah yang aku terima setelah di potong uang makanku. Aku kecewa dan kesal, tapi ku tahan untuk tidak meluaapkannya saat itu juga.

Malam harinya aku mengumpulka kawan-kawan untuk membicarakan nasib kami. Tetapi kami tidak mau gegabah dan berusaha bertahan dulu dan bekerja seperti biasa sambil memikirkan apa yang bisa kami lakukan, karena kami pun masih belum tahu ke mana mau mencari pertolongan kalau terjadi sesuatu.

Kami bertahan dalam kondisi seperti itu hingga empat bulan lamanya. Dan akhirnya kami berunding untuk menyatukan suara demi memperjuangkan nasib kami selanjutnya.

Setelah kami menemukan kesepakatan, keesokan harinya kami melakukan mogok kerja. Dan aku yang memimpin kawan-kawan untuk mogok kerja dan berorasi di depan estate. Meskipun banyak dari kawan-kawan yang tidak ikut, akan tetapi yang terpenting pada hjari itu semua sepakat untuk tidak bekerja.

Namun tak satupun staf kantoryang menemui kami, dan seolah tidak menganggap keberadaan kami saat itu. Akhirnya kami pun pulang dengan rasa kecewa. Kami pun kembali ke mess.

Tapi tak di sangka-sangka, pada jam lima sore atau menjelang maghrib,  mess kami kedatangan dua orang tamu.

Mereka sebenarnya adalah bos kami, kontraktor di perusahaan tersebut. Dan kami bekerja kepada Sub-contraktor di bawah mereka.

Ketika mereka berteriak-teriak memanggil namaku dengan segala sumpah serapahnya. Jujur saja aku pun mulai merasa agak gentar karena tidak pernah menyangka akan hal itu. Dan aku pun tidak bisa ke mana-mana juga tidak tahu harus ke mana.

Mereka menyumpahiku, bahkan sempat meludahiku, tapi aku hanya berusaha menghadapi dengan tenang. Karena aku sendiri tidak punya persiapan apapun untuk mengahadapi kejadian itu. 

Setelah mereka puas memaki aku, mereka pun pergi meninggalkan mess kami. Tapi mereka berhasil membuat kami tidak bisa tidur malam itu karena mereka sempat mengancam kami sebelum pergi.

Bersambung ke part-4

Pena Novia Note :

Cerita yang di muat berdasarkan sharing dan komunikasi, dan sudah mendapatkan ijin dari pihak yang bersangkutan.

Pena Novia

PMI Bercerita & Bersuara


 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seminar Perempuan KBRI Singapura

SEMINAR PEREMPUAN Perilaku Sehat, Wanita Tangguh. KBRI Singapura, minggu 29-09-2024 Dharma Wanita Persatuan KBRI Singapura mengadakan acara seminar bertema perempuan, yang diadakan di ruang Nusantara KBRI Singapura. Dr. Merisa Auditanya Taufik menjadi pembicara di acara tersebut, yang memberikan materi seminat tentang hal-hal yang tentang kesehatan perempuan. Dan  dihadiri oleh kurang lebih 200  pekerja migran Indonesia yang merupakan pekerja perempuan. Acara dibuka dengan sambutan dari Ibu Nuri Widowati Suryo Pratomo sebagai ketua Dharma Wanita Persatuan KBRI Singapura. Yang kemudian dilanjutkan ke acara inti. Pemaparan materi diawali dengan point penting yaitu : Perempuan Adalah Sosok Penting Kehidupan.  1.Karena perempuan diberikan rahim untuk proses kelangsungan hidup manusia. 2.Perempuan dibekali naluri keibuan untuk meberikan cinta dan kehangatan. 3.Perempuan sebagai 'sekolah pertama' untuk anak-anaknya. Kemudian dilanjut dengan materi-materi yang tidak ...

PMI BERTAHAN DI LUAR NEGERI KARENA APA?

                                  Bertahun-Tahun Bertahan di Negara orang, Sampai Kapan? Bicara tentang PMI (Pekerja Migran Indonesia) memang selalu menarik, karena ada banyak cerita yang beragam dan mungkin hanya difahami oleh sesama PMI itu sendiri, dan mereka yang memiliki concern terhadapa permasalahan PMI. PMI berasal dari berbagai background kehidupan yang bermacam-macam. Namun pada dasarnya, kondisi ekonomi-lah yang menjadi alasan terbesar, yang membuat mereka harus meninggalkan Indonesia untuk bekerja di negara orang.Tidak semua orang bisa memahami PMI, baik dari latar belakang, kondisi kerja, juga kesehatan mental karena tekanan yang harus dialaminya. Di sini kita akan mengupas kondisi yang dialami PMI pada umumnya. Khususnya sektor pekerja rumah tangga. Pada tahap awal ketika PMI baru menginjakkan kaki di negara orang atau masuk ke tempat kerja, pasti mengalami yag nemanya "culture shock". Ya...

RENUNGAN SENJA KORBAN HUMAN TRAFICKING part-6

  TAK PERNAH KU SANGKA AKU AKAN MENGHABISKAN MASA TUAKU SENDIRIAN. Renungan senja seorang mantan PMI yang pernah bekerja di Malaysia. Dia yang pernah menjadi korban human traficking, dan hampir kehilangan nyawa di ujung senapan seorang mandor perkebunan kelapa sawit. Edisi sebelumnya ... Kami harus mendekam di tahanan karena di anggap melangar undang-undang imigrasi. Selain di anggap memalsukan data, kami juga bekerja secara ilegal tanpa ada dokumen resmi.  Yang sebenarnya kami adalah korban dari para sponsor atau calo yang memperjual belikan kami layaknya barang.  Ya. Kami adalah korban human traficking, kami adalah korban dari jaringan perdagangan orang. Setelah melewati waktu beberapa bulan kami di dalam tahanan akhirnya kami di keluarkan untuk kemudian di deportasi. Kami di bawa ke pelabuhan dan di seberangkan dengan perahu kecil dengan tangan terborgol satu sama lain. Entah bagaimana nasib kami andai saja ada kecelakaan atau perahu itu terbalik. Tapi begitulah kenyat...