Langsung ke konten utama

RENUNGAN SENJA (KORBAN HUMAN TRAFICKING) -part 2

 


TAK PERNAH KU SANGKA AKU AKAN MENGHABISKAN MASA TUAKU SENDIRIAN.

Renungan senja seorang mantan PMI yang pernah bekerja di Malaysia. Dia yang pernah menjadi korban human traficking, dan hampir kehilangan nyawa di ujung senapan seorang mandor perkebunan.

 Edisi sebelumnya ...

Lelaki itu kembali meneguk teh yang ada di depannya, seolah ingin menyiram rasa sesak yang terasa mengganjal di dadanya. Dia ingin melarutkan rasa itu agar merasa lega.

Seorang anak muda lewat di depan rumah dan menyapanya dengan ramah. Selamat sore om, lagi santai om tambahnya. Eh iya, mampirlah sini kita minum teh, sambut lelaki tersebut. Terima kasih om, maaf ada keperluan ini gak bisa mampir, ujar anak muda itu menimpali, kemudian berlalu meninggalkannya.

SB, sang lelaki itu hanya bisa mengiyakan. Ada senyum yang terpaksa dari wajahnya, terlihat getir meskipun coba di tutupinya. 

Dia menatap langit yang masih terlihat cerah sambil bergumam. Sebentar lagi cerahmu akan perlahan menghilang dan berganti gelap, karena senja hanyalah bagian dari perjalanan waktu sebelum malam.

Seperti kehidupan ini. Seperti hidupku juga. Yang harus mengikuti alur cerita yang sudah di gariskan.

Istriku, kenapa kau harus pergi lebih dulu, aku sendirian, aku harus menjalani hari hariku sendirian di masa tuaku. Dulu aku berharap kita bisa saling mengisi dan bisa saling menemani sampai kita menua bersama. Kita saling mengisi, menghabiskan masa tua bersama.

Tapi rupanya Tuhan berencana lain, Tuhan lebih sayang sama kamu dan memanggilmu lebih dulu. Aku sadar aku harus ikhlas, aku harus menerima takdir yang sudah di gariskan, dan aku harus menjalani hari-hariku sendirian. Tanpa pendamping, tanpa anak-anak, tapi aku harus terima.

SB kembali kepada bayangan masa lalunya. Bayangan masa lalu yang tidak mudah untuk dia lupakan. Perjalanan panjang yang di jadikan sebuah pelajaran berharga dalam hidup.

Setelah aku melengkapi semua persyaratan, seminggu kemudian tepatnya bulan desember tahun 1999. Aku di jemput ke rumah oleh sponsor dan aku harus segera berangkat. Dengan perasaan yang sangat berat, aku tinggalkan istri dan anak-anakku yang masih kecil-kecil.

Dadaku sesak rasanya setiap kali mengingat hal itu. Istriku menangis antara siap dan tidak untuk aku tinggalkan. Sementara aku berusaha untuk terlihat kuat, meskipun sangat sangat berat untuk melangkah. Tapi sekali lagi, aku harus pergi demi masa depan keluargaku. Hanya itulah pilihan yang ada saat itu.

Perjalanan  kami lalui dengan jalur laut, kami mulai dari pelabuhan Cirebon. Aku hanya mengikuti ke mana sponsor itu membawaku, tanpa banyak bertanya. Setiap kali pikiranku seperti memberontak karena tidak ingin meninggalkan istri dan anak-anakku. Setiap kali pula aku seperti di tampar oleh kenyataan.

Pertanyaan-pertanyaan bermunculan di kepalaku. Bagaimana aku bisa memberikan kehidupan yang lebih layak dalam kondisi seperti ini. Tidak memiliki pekerjaan tetap dan tabungan pun sudah di pakai untuk keperluan sehari-hari.

Setelah dua hari dua malam melintasi lautan, sampailah kami di pelabuhan pontianak. Kami melanjutkan perjalanan darat dengan menaiki angkot, lalu sampailah kami di sebuah rumah di daerah Sui Jawi, yang ternyata adalah sebuah penampungan bagi calon PMI /TKI.


TAK PERNAH ADA DALAM BAYANGAN, KALAU KAMI HARUS MENUNGGU BERBULAN-BULAN DI PENAMPUNGAN.

Ada banyak orang yang di tampung di sana. Sehari, dua hari, kami berpikir bahwa kami hanya sementara saja di tempat itu. Semakin hari kami mulai merasa bosan dan stress, karena tidak ada kepastian sampai kapan kami di sana dan berapa lama.

Tak terasa sudah tiga bulan aku dan banyak orang-orang lainnya berada di rumah penampungan itu, tapi belum ada tanda-tanda kalau kami akan di berangkatkan. Setiap kali kami bertanya dan minta kepastian, jawabannya hanya nanti dan nanti tanpa ada penjelasan.

Kami pun terpaksa harus terus menunggu dan menunggu karena tidak ada yang bisa kami lakukan. Kami sudah terjebak, tidak punya uang, dokumen pun ada di tangan sponsor.

Bahka kalau kami nekad lari dari sana dan pulang pun sudah tidak mungkin. Seperti tekadku dari awal, aku harus mengambil pilihan ini demi keluargaku, demi mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak.

Kalau aku pulang dengan tangan kosong, sementara barang-barang di rumah sudah terjual untuk membayar beaya keberangkatanku, lalu apa yang harus aku katakan kepada istri dan anak-anak?  Hal itulah yang membuatku bertahan walau dengan keadaan apapun.

AKHIRNYA TIBALAH HARI YANG KAMI TUNGGU

Akhirnya hari yang kami tunggu pun tiba. Sponsor memberangkatkan kita menuju ke Malaysia. Lega rasanya meskipun baru di berangkatkan, karena penantian yang panjang sudah kami lalui. Inilah saatnya kami melanjutkan ke lembaran baru dalam perjalanan ini.

Rasa bosan, stress dan frustasi sedikit terobati dengan keberangkatan kami. Karena harapan itu terbuka lagi, yang membuat kami bersemangat kembali.

Harapan untuk segera mendapatkan pekerjaan dan bayangan istri beserta anak-anak di rumah terus bermain-main di pikiranku.

Tinggal selangkah lagi aku akan berjuang dan bekerja keras demi mereka, ujarku.

Tetapi aku dan kawan-kawan harus menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan.

Setelah sampai di perbatasan, aku dan kawan-kawan  harus kembali ke penampungan di daerah balai karangan yang berjarak kurang lebih 5km dari perbatasan.

Kami tinggal di sana selama satu minggu lamanya tanpa tahu apa masalahnya. Kecewa, sedih bahkan rasa marah campur aduk jadi satu. Ingin ku lampiaskan saat itu juga rasanya, tapi aku harus menahannya sebisaku.

Beelakangan barulah aku ketahui penyebabnya. Rupanya nilai jual masih belum menemukan kesepakatan antara sponsor/calo dan pihak agency di malaysia.

Ya, nilai jual aku menyebutnya. Karena begitulah cara mereka memperlakukan kami yang di anggap seperti barang dagangan yang di perjual belikan secara tidak manusiawi.

Kami harus tinggal dan menunggu lagi selama beberapa hari di penampungan itu. Kemudian kami di bawa dengan sebuah kendaraan dan melaju melewati perbatasan Terpedu Malaysia.

 Rombongan kami di bawa menuju Sirian, sebuah kota kecil sebelum Kuching.Perjalanan yang kami tempuh hampir dua jam, dan akhirnya sampailah kami di sebuah penginapan di Sirian. Rombongan di suruh singgah dan beristirahat di sana.

Keesokan harinya barulah kami di berangkatkan menuju terminal Sibu. Lalu kami berpindah kendaraan dan menaiki bus menuju sebuah kota kecil lainnya, yang di sebut Bandar Mukah.

Begitu rombongan turun dari bus, kami langsung di jemput dan di arahkan ke sebuah kedai yang letaknya tak jauh dari terminal.

Setelah segala sesuatunya di rasa beres termasuk perbekalan, kami di angkut dengan mobil bak terbuka menuju ke sebuah tempat dengan jarak tempuh kurang lebih dua jam.

Hati mulai was -was ketika kendaraan mulai memasuki daerah pinggiran hutan dengan kondisi jalan yang becek dan tak beraspal. Kami menjumpai puluhan atau mungkin ratusan monyet bergelantungan di pepohonan yang kami lewati.

Dan pelan-pelan kami mulai menyadari kalau kami memasuki sebuah ladang perkebunan kelapa sawit, yang jauh dari pemukiman penduduk. Kami hidup terisolasi di sana.

Bersambung ke part 3

Pena Novia Note :

Cerita yang di muat berdasarkan sharing dan komunikasi dan sudah mendapatkan ijin dari pihak yang bersangkutan.

Pena Novia

PMI Bercerita & Bersuara






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seminar Perempuan KBRI Singapura

SEMINAR PEREMPUAN Perilaku Sehat, Wanita Tangguh. KBRI Singapura, minggu 29-09-2024 Dharma Wanita Persatuan KBRI Singapura mengadakan acara seminar bertema perempuan, yang diadakan di ruang Nusantara KBRI Singapura. Dr. Merisa Auditanya Taufik menjadi pembicara di acara tersebut, yang memberikan materi seminat tentang hal-hal yang tentang kesehatan perempuan. Dan  dihadiri oleh kurang lebih 200  pekerja migran Indonesia yang merupakan pekerja perempuan. Acara dibuka dengan sambutan dari Ibu Nuri Widowati Suryo Pratomo sebagai ketua Dharma Wanita Persatuan KBRI Singapura. Yang kemudian dilanjutkan ke acara inti. Pemaparan materi diawali dengan point penting yaitu : Perempuan Adalah Sosok Penting Kehidupan.  1.Karena perempuan diberikan rahim untuk proses kelangsungan hidup manusia. 2.Perempuan dibekali naluri keibuan untuk meberikan cinta dan kehangatan. 3.Perempuan sebagai 'sekolah pertama' untuk anak-anaknya. Kemudian dilanjut dengan materi-materi yang tidak ...

PMI BERTAHAN DI LUAR NEGERI KARENA APA?

                                  Bertahun-Tahun Bertahan di Negara orang, Sampai Kapan? Bicara tentang PMI (Pekerja Migran Indonesia) memang selalu menarik, karena ada banyak cerita yang beragam dan mungkin hanya difahami oleh sesama PMI itu sendiri, dan mereka yang memiliki concern terhadapa permasalahan PMI. PMI berasal dari berbagai background kehidupan yang bermacam-macam. Namun pada dasarnya, kondisi ekonomi-lah yang menjadi alasan terbesar, yang membuat mereka harus meninggalkan Indonesia untuk bekerja di negara orang.Tidak semua orang bisa memahami PMI, baik dari latar belakang, kondisi kerja, juga kesehatan mental karena tekanan yang harus dialaminya. Di sini kita akan mengupas kondisi yang dialami PMI pada umumnya. Khususnya sektor pekerja rumah tangga. Pada tahap awal ketika PMI baru menginjakkan kaki di negara orang atau masuk ke tempat kerja, pasti mengalami yag nemanya "culture shock". Ya...

RENUNGAN SENJA KORBAN HUMAN TRAFICKING part-6

  TAK PERNAH KU SANGKA AKU AKAN MENGHABISKAN MASA TUAKU SENDIRIAN. Renungan senja seorang mantan PMI yang pernah bekerja di Malaysia. Dia yang pernah menjadi korban human traficking, dan hampir kehilangan nyawa di ujung senapan seorang mandor perkebunan kelapa sawit. Edisi sebelumnya ... Kami harus mendekam di tahanan karena di anggap melangar undang-undang imigrasi. Selain di anggap memalsukan data, kami juga bekerja secara ilegal tanpa ada dokumen resmi.  Yang sebenarnya kami adalah korban dari para sponsor atau calo yang memperjual belikan kami layaknya barang.  Ya. Kami adalah korban human traficking, kami adalah korban dari jaringan perdagangan orang. Setelah melewati waktu beberapa bulan kami di dalam tahanan akhirnya kami di keluarkan untuk kemudian di deportasi. Kami di bawa ke pelabuhan dan di seberangkan dengan perahu kecil dengan tangan terborgol satu sama lain. Entah bagaimana nasib kami andai saja ada kecelakaan atau perahu itu terbalik. Tapi begitulah kenyat...