TAK PERNAH KU SANGKA AKU AKAN MENGHABISKAN MASA TUAKU SENDIRIAN.
Renungan seja seorang mantan PMI yang pernah bekerja di Malaysia . Dia yang pernah menjadi korban human traficking, dan hampir kehilangan nyawa di ujung senapan seorang mandor perkebunan kelapa sawit.
Edisi sebelunya...
Orang-orang itu menyumpahiku, bahkan sempat meludahiku, tapi aku hanya berusaha menghadapi dengan tenang. Karena aku sendiri tidak punya persiapan apapun untuk menghadapi kejadian itu.
Setelah mereka puas memaki aku, mereka pun pergi meninggalkan mess kami. Tapi mereka berhasil membuat kami tidal isa tidur malam itu karena mereka sempat mengancam kami sebelum pergi.
Keesokan harinya. Kami melanjutkan mogok kerja di hari kedua, dan orang suruhan bos besar itupun datang lagi di malam hari. Tapi sungguh di luar dugaan, karena kali ini mereka datang dengan persiapan yang lebih serius.
Empat orang mendatangi kami dengan membawa senapan. Begitu turun dari mobil, mereka langsung menodongkan senapan ke arah kami. Kawan-kawan pun ketakutan dan semua diam tak bergerak. Dan aku-lah yang menjadi target utama dari empat orang suruhan tersebut.
Akupun tidak mampu melawan ketika di bawa pergi di bawah todongan senapan. Mobil pun melaju menerobos kegelapan di area hutan /perkebunan. Aku tidak lagi memikirkan ke mana aku akan di bawa, aku tidak perduli dengan apa yang akan mereka lakukan terhadapku malam itu. Karena yang ada di pikiranku hanya istri dan anak-anakku.
Pikiranku berkecamuk tak karuan membayangkan bagaimana aku harus memberi tahu istriku, siapa yang akan memberi tahu istriku bila aku sampai terbunuh. Lalu bagaimana bila seumur hidupnya hanya menunggu kabarku dan menanti kepulanganku. Siapa yang akan memberitahu kepada istriku bila aku mati?
Aku tak sadar jika mobil yang membawaku berhenti, hingga aku di kagetkan karena di suruh turun dengan kasar dan di bentak.
Aku tidak tahu di mana aku saat itu, yang aku tahu hanyalah gelap dan sunyi. Kanan kiri hanya pohon-pohon besar dan gelap. Senapan berlaras panjang di todongkan tepat ke dadaku.
Huft... SB kembali menarik nafas panjang. Dia berhenti sejenak seperti menahan rasa yang berkecamuk di dadanya. Sedih, marah, menyesal atau bersyukur. Entah yang mana yang dia rasakan setiaap kali mengingat kejadian itu.
Waktu itu aku benar-benar berada di antara hidup dan mati. Aku hanya bisa pasrah tanpa bisa melawan. Aku merasa tidak ada gunanya untuk melawan karena ujung senapan sudah tepat di depanku, sedangkan aku sendirian tanpa daya.
Pada detik-detik itu aku hanya bisa menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Do'a ku panjatkan dalam hati tanpa aku mampu mengucap kalimat apapun, aku tak mampu dan tak berani membuka mulut apa lagi mengeluarkaan suara, bahkan meminta ampun sekalipun aku tak mampu.
Entah apa yang terjadi ketika aku sudah pasrah dan menyerahkan semua pada yang Maha Kuasa. Tiba-tiba seorang dari mereka yang merupakan orang melayu, menepiskan moncong senapan dari dadaku, lalu menarik dan sedikit menyeretku ke tempat yang agak jauh.
Aku kembali pasrah, karena aku kira dia akan menghabisiku di sana. Tetapi dia menanyakan sesuatu dengan setengah berbisik di telingaku.
Apa agamamu? ucapnya. Saya muslim tuan, jawabku dengan kalimat yang terbata-bata. Tak ku duga dia mengatakan begini. Kamu saudaraku, aku tak tega menghabisimu.
Sesaat kemudian terjadilah perdebatan di antara mereka, mereka saling bersitegang satu sama lain. Aku hanya pasrah dan menunggu apa yang akan terjadi. Karena mereka berbicara menggunakan bahasa inggris dan aku tidak faham apa yang mereka bicarakan. Tapi aku tahu mereka sedang memperdebatkan sesuatu.
Dan setelah itu mereka pergi begitu saja meninggalkan aku di tengah hutan dalam kegelapan, tanpa aku tahu apa yang terjadi. Mobil mereka terus menjauh entah ke mana. Aku hanya berjalan mengikuti arah jalan berlawanan dengan arah mereka. Karena dalam pikiranku, mungkin arah yang mereka tinggalkan itu adalah arah dari mana mereka membawaku.
Lewat tengah malam, akhirnya aku kembali melihat mess kami dari kejauhan. Aku merasa sedikit lega dan ingin segera menghampiri kawan-kawanku yang masih dalam kecemasan dan was-was.
Mereka semua terjaga, tapi saling diam dan sangat jelas raut kecemasan yang nereka rasakan. Aku sengaja melempar dahan kering dari balik pohon untuk mengejutkan mereka. lalu aku pun muncul dan hal itumembuat mereka merasa lega dan lebih tenang.
Keesokan harinya kami lagi-lagi harus menghadapi kenyataan. Kami harus bekerja kembali karena tidak ada yang bisa kami lakukan selain bekerja pada saat itu. Meskipun kami sadar kalau kami di exploitasi, tapi kami berada dalam posisi yang terjepit, karena kami tidak berdocument. Mau keluar dari tempat itu-pun pasti di tangkap pihak berwenang.
Kami benar-benar seperti pesakitan yang tidak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya menjalankan apa yang di perintahkan. Kami seperti tawanan di dalam perkebunan itu yang tak punya hak apapun selain hanya bekerja dan bekerja.
Hari-hari pun kami lalui, pelan-pelan kami sudah beradptasi lagi dengan keadaan. Kami menganggap apa yang sudah terjadi itu sudah lewat dan kami mencoba menerima kenyataan.
Kami bekerja dan berharap satu saat nanti bisa menerima gaji atau upah secara utuh. Hanya itula harapan yang mampu membuat kami bertahan.
Pada satu hari, ketika kami sedang beristirahat di sela-sela waktu makan siang, kami mendengar teriakan dari mess lain.
Mereka berteriak sambil mengatakan ada polisi melakukan razia, dan kami di kepung oleh pasukan kepolisian.
Seketika kami berlari berhamburan menyelamatkan diri, kami hanya sempat mengambil dan membawa apa yang bisa kami bawa secepatnya seperti dompet dan tidak memikirkan yang lain.
Kami berlari ke tangah hutan, kami berlari sejauh-jauhnya yang kami rasa lebih aman dari jangkauan pasukan aparat kepolisian.
Hingga menjelanga maghrib kami masih terus berusaha mencari arah. Menyeberangi parit dan menit jembatan yang hanya terbuat dari sebatang kayu. Tak sedikit kawan kami yang terpeleset dan jatuh ke parit yang cukup dalam.
Sementara di seberang kami adalah hutan belantara yang kami tahu pasti banyak binatang yang berbahaya seperti ular atau lainnya.
Tapi kami kesampingan semua rasa takut itu karena kami hanya ingin berlari sejauh mungkin untuk bisa lolos dari kejaran aparat.
Semalaman kami tidak bisa tidur, suasana sangat gelap dan menakutkan. Kami hanya bisa saling bicara untuk memastikan bahwa kami masih bersama dan berada di tempat yang berdekatan.
Setelah pagi tiba, kami pun mencari jalan untuk kembali ke mess.
Bersambung ke part-5
Pena Novia Note :
Cerita ini di muat berdasarkan sharing dan komunikasi, dan sudah mendapatkan ijin dari pihak yang bersangkutan.
Pena Novia
PMI Bercerita & Bersuara
Komentar
Posting Komentar