TAK PERNAH KU SANGKA AKU AKAN MENGHABISKAN MASA TUAKU SENDIRIAN
Renungan senja seorang mantan PMI yang pernah bekerja di malaysia. Dia yang pernah menjadi korban human traficking, dan hampir kehilangan nyawa di ujung senapan seorang mandor perkebunan kelapa sawit.
SB, begitulah dia ingin di sebut namanya. Di sore itu SB duduk merenung, pandangannya jauh menerawang ke kejauhan.
Secangkir teh menjadi teman menunggu malam. Sesekali dia menghela nafas dalam-dalam. Seolah menyiapkan hatinya dan menata kalimat apa yang tepat untuk di ucapkan setiap kali bayangan masa lalu melintas di pikirannya.
Di masa tuaku ini, aku tidak mengharap belas kasih dari siapapun, akan tetapi aku hanya ingin melepaskan rasa sesak yang selama ini mengganjal di dadaku. Agar aku merasa lega, gumamnya.
KRISIS MONETER YANG AKHIRNYA MEMBUAT KEHIDUPANKU TAK LAGI SAMA
Cerita ini berawal dari kondisi krisis ekonomi yang melanda waktu itu. Thun 1999 adalah tahun yang paling suram. Aku yang dulu bekerja di sebuah perusahaan perakitan baja terkena PHK dari tempatku bekerja.
Hampir dua tahun setelah di PHK, kehidupan keluargaku tak menentu. Dengan tiga anak yang masih kecil-kecil aku bekerja serabutan untuk menyambung hidup. Tabungan yang tidak seberapa, tidak bisa bertahan lama untuk mencukupi kebutuhan keluargaku.
Hingga suatu hari aku di datangi oleh seorang sponsor atau calo yang menawarkan untuk bekerja di malaysia dengan iming-iming gaji yang besar.
Aku tidak langsung tertarik pada awalnya, karena aku tidak ingin meninggalkan istriku dengan ketiga anak-anakku. Aku tidak ingin jauh dari mereka, aku ingin berada di samping mereka dan memenuhi kewajibanku sebagai ayah yang melindungi mereka.
Tapi kemudian aku berunding dengan istriku, aku meminta pendapatnya agar dia juga memberikan pendapat sesuai pertimbangannya. Karena walau bagaimanapun, kondisi ekonomi kita memang sedang sulit, dan aku juga ingin tahu pendapat istriku.
Ma... Aku tahu ini sangat berat, ini pilihan yang sulit bagiku. Di satu sisi, aku tidak ingin meninggalkanmu dan anak-anak. Tapi di sisi lain, aku tidak ingin melihat kalian terus berada dalam keadaan seperti ini.
Uang tabungan kita pun sudah tidak ada lagi, sementara dengan aku bekerja serabutan hanya cukup untuk menyambung hidup. Aku tahu bebanmu juga sudah sangat berat ma.
Istrikupun memahami dan kami pun mulai berpikir dan menimbang-nimbang mana yang sebaiknya kita putuskan. Mengingat kami memiliki anak-anak yang masih kecil, mereka berhak untuk hidup lebih layak dan mendapatkan pendidikan.
Setelah kami berunding, aku, istriku dan orang tua, akhirnya aku memutuskan untuk menerima tawaran dari sponsor itu untuk merubah nasib.
Uang sebesar Rp 2.500.000 menjadi syarat yang harus aku penuhi untuk bisa bekerja di Malaysia. Walaupun kami harus menjual beberapa barang yang kami miliki sperti mesin jahit dan kulkas, serta di tambah dengan meminjam kepada keluarga yang lain. Kami menjual semua itu dengan harapan untuk bisa memiliki masa depan yang lebih baik.
Singkat kata, lengkaplah sudah persyaratan yang harus aku serahkan. Selain uang, termasuk ijasah DLL sebagai perlengkapan dokumen.
Seminggu kemudian tepatnya di bulan desember, aku di jemput oleh sponsor dan di ajak untuk segera berangkat, dan aku pun harus segera bersiap lalu berangkat mengikuti sponsor.
Berat, berat sekali rasanya kakiku untuk melangkah meninggalkan mereka, meninggalkan istri dan anak-anakku, meninggalkan keluargaku yang seharusnya aku lindungi siang malam.
SB, lelaki itu terdiam sejenak. Dia seperti ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Seperti ada beban berat yang terus dia bawa selama perjalanan hidupnya.
Beban berat yang tidak terlihat, beban berat yang tidak terucap, beban berat yang hanya bisa dia rasakan.
Aku tidak tahu kepada siapa aku harus mengatakan semua ini, aku tidak tahu siapa yang sudi mendengarkan luahan perasaan ini. Aku tidak tahu apa tanggapan orang-orang bila mendengar cerita ini. Aku tidak ingin di anggap mengharap belas kasih, aku sudah menerima takdirku.
Sedih memang, di masa tuaku ini aku harus menerima kenyataan bahwa aku harus menjalaninya sendirian. Aku harus kembali kehilangan, kehilangan istri yang mendampingiku dan menemaniku bangkit dari keterpurukan.
Kembali dia menghela nafas dalam-dalam. Lalu dia meraih cangkir di depannya dan meneguk teh hangat itu. Seolah ingin menyiram rasa sesak yang mengganjal di dadanya. Atau dia ingin melarutkan saja rasa itu agar lebih lega.
Seorang anak muda yang juga tetangga SB lewat di depan rumah dan menyapa dengan ramah.
Selamat sore om, lagi santai nih om, ujarnya.
Eh iya, sahut SB. Mari mampir sini kita minum teh, tambah SB yang berusaha menutupi kekagetannya.
Terima kasih om, mohon maaf lagi ada keperluan lain ini jadi gak bisa mampir, anak muda itu menimpali.
SB, lelaki itu hanya bisa tersenyum dan mengiyakan sambil kembali melanjutkan menikmati teh untuk menunggu malam.
Bersambung ke part 2
Pena Novia Note :
Cerita yang di muat berdasarkan sharing dan komunikasi, dan sudah mendapat ijin dari pihak yang bersangkutan.
Pena Novia
PMI Bersuara & Bercerita
Komentar
Posting Komentar