KEMISKINAN YANG MEMAKSAKU UNTUK BERHENTI SEKOLAH, DAN BEKERJA DI USIA YANG SANGAT DINI (part 4)
Perjalanan hidup seorang PMI berama (Y.A)
Yang berasal dari kota (P).
Dan saat ini masi bekerja di Singapura.
Sekitar tahun 2019, aku mulai bermain gadget dan mengenal dunia maya.
Dan berkenalan dengan seorang laki-laki, dari yang sekedar berteman lalu menjadi dekat. Karena sering curhat tentang masalah yang di alamainya.
Aku memang sengaja melakukan hal itu agar di ceraikan oleh suamiku.
Karena sudah beberapa kali aku meminta cerai, tetapi suamiku tidak mau menceraikanku.
Selama itu pula dia hidup dalam tekanan.
Tapi hubungan kami hanya sekedar dekat di dunia maya saja.
Karena tidak lama kemudian, teman laki-lakiku tersebut menikah dengan kekasihnya.
Lalu aku pun berekenalan dengan cowok yang lain.
Yang juga ku kenal di dunia maya.
Namun untuk yang kali ini, isyu tentang aku yang berhubungan dengan laki-laki lain pun merebak.
Di saat yang tidak begitu lama, aku mengalami kondisi yang lemah
Setelah periksa ke dokter, ternyata aku positif hamil.
Antara senang, kaget dan juga sedih, terjadilah perdebatan antara aku dan suami saat itu.
Karena aku tidak tahan dengan tuduhan yang tidak pernah aku lakukan.
Aku pun menantang suamiku untuk membuktikan.
Yang pada akhirnya, suamiku memilih untuk melakukan sumpah pocong sebagai pembuktian.
Selama itu pula, hubungan kami sangat dingin meskipun kami tinggal dalam satu rumah.
Hingga-lah anakku pun terlahir, yang wajahnya sangat mirip dengan suamiku.
Akupun masih berusaha meyakinkan dan menantang suamiku, kalau memang masih tidak percaya dengan sumpah pocong yang dia lakukan.
Agar dia melakukan test saja kalau masih tidak percaya bahwa itu anaknya, tapi dia tidak mau melakukannya.
Dan pada akhirnya, karena aku tidak kuat lagi merasakan tekanan batin. Aku minta berpisah saja dan di setujui oleh suamiku.
Itu terjadi saat anakku berusia tujuh bulan, dan aku pulang ke rumah orang tuaku dengan membawa bayiku.
Saat itu juga aku bercerita semua apa yang aku alami selama ini. Akan tetapi, orang tuaku tidak percaya begitu saja.
Hal itu juga yang membuatkau merasa menjadi beban bagi orang tua. Hingga aku memutuskan untuk mengontrak dan membuka warung kecil-kecilan untuk menyambung hidup.
Beberapa kali suamiku datang, dengan maksud untuk mengajak rujuk kembali.
Tapi aku masih merasa trauma dengan apa yang dia alami selama dia menikah, aku pun menolak ajakan itu.
Setelah tiga bulan, aku di minta kembali ke rumah orang tuaku dan tinggal bersama mereka.
Hari demi hari aku menjalani hidup dengan kerja keras.
Hingga saat anakku berusia satu setengah tahun, aku tahu bahwa mantan suamiku sudah menikah lagi.
Tak berselang lama, ada-lah seorang laki-laki yang mendekatiku.
Tapi aku masih tidak mau menerima laki-laki tersebut, karena masih ingin sendiri dulu, dan menjalani hidup bersama anak dan orang tuanya.
Akan tetapi, rupanya laki-laki tersebut mampu mengambil hati anakku dan juga orang tuaku.
Sehingga lambat laun aku pun menerima laki-laki tersebut.
Dan kami menikah.
Laki-laki tersebut juga orang 'susah', sama seperti aku.
Tapi aku tidak mempermasalahka hal itu.
Karena bagiku, yang terpenting adalah, dia mau menerima aku apa adanya.
Ternyata setelah menikah, aku mulai memahami bagaimana karakter suamiku ini.
Dia pemalas dan tidak mau bekerja, dia tahu kalau aku adalah seorang perempuan yang ulet dan mau bekerja apa saja.
Lambat laun aku merasa menjadi tulang punggung dalam rumah tanggaku.
Aku lelah secara fisik maupun pikiran.
Pernikahan kedua-ku bertahan selama dua tahun saja, karena aku tidak kuat lagi berada dalam kondisi seperti itu.
Aku pun memutuskan untuk meninggalkan suamiku, dan kembali ke rumah orang tua.
Selang beberapa hari kemudian, suamiku datang untuk menjemputku.
Tetapi aku sudah tidak mau ikt dengannya, dan meminta untuk berpisah saja.
Aku memilih untuk hidup sendiri, tanpa pasangan.
Bekerja apa saja untuk menyambung hidup, bagiku itu lebih baik dari pada hidup berada dalam tekanan batin. Begitu pikirku.
Pada satu hari, aku mencoba menghubungi teman lamaku yang baru pulang merantau, untuk bertanya tentang pekerjaan.
Temannya bilang kalau dia bekerja di Singapura sebagai PRT migran.
Aku pun tergiur dengan pekerjaan itu, selain karena gaji yang pasti lebih besar, juga karena aku merasa mampu bekerja.
Karena sudah terbiasa beerja sebagai PRT,bahkan sudah memulai bekerja di rumah orang dari usia yang sangat dini.
Aku mulai menyiapkan diri, karena menurut temanku tersebut, kalau mau bekerja ke luar negeri harus bisa bertahan.
Karena minimal harus menyelesaikan kontrak selama dua tahun baru bisa pulang.
Aku pun mencoba menitipkan anakku ke mantan suami.
Dengan maksud untuk mempersiapakan kalau sewaktu-waktu akan ku tinggal pergi.
Tapi hanya bertahan dua minggu saja, karena ternyata aku tidak bisa berpisah terlalu lama dengan anakku.
Aku pun kembali berdagang atau berjualan keliling, dari pom bensin, terminal hingga di pasar. Dan itu berlangsung beberapa bulan.
Namun pikiranku kembali terusik, karena kalau terus seperti ini, kapan aku bisa memberikan kehidupan yang lebih baik untuk anakku?
Pikiran itu terus menghantuiku, aku terus saja berpikir seperti itu.
Sampai akhirnya aku kembali menemui mantan suamiku.
Aku menyampaikan maksudku untuk pergi ke luar negeri, dan meminta mantan suamiku untuk merawat anak kami selama aku kerja nanti.
Karena walau bagaiamanapun, aku masih percaya kalau sang anak akan di jaga baik-baik oleh ayahnya.
Aku pun mulai mempersiapkan segala sesuatunya, untuk ikut temanku yang katanya bisa membawaku ke Singapura.
#Bersambung ke-(part 5 )
Cerita ini berdasarkan sharing dan interview dengan nara sumber
Di tulis dan di narasikan oleh : penanovia.id
Di muat atas persetujuan nara sumber.
Komentar
Posting Komentar