Perjalanan hidup seorang PMI bernama (Y.A) yang berasal dari sebuah kota (P). Dan saat ini masih bekerja di Singapura.
Cerita sebelumnya :
Sembilan bulan aku bekerja pada keluarga tersebut. Namun tiba-tiba mereka memberitahuku, bahwamereka akan pindah ke negara Malaysia. Tapi ternyata selama aku bekerja di sana, bapakku sudah mengambil gajiku setiap bulan. Yang berarti aku tidak menerima hasil kerja kerasku selama sembilan bulan.
Aku pun pulang kembali ke kampung, tapi hanya seminggu di rumah, aku pun kembali ke Kota untuk bekerja lagi. Karena aku sudah terbiasa bekerja sejak kecil, juga karena aku sudah tidak lagi sekolah sehingga tidak ada yang bisa aku lakukan selain aku harus bekerja.
Hingga aku berusia 16 tahun, aku mengenal seorang laki- laki. Dari yang sekedar berkawan, semakin lama hubungan kami semakin akrab dan semakin dekat. Tiga bulan sudah kami berusaha saling mengenal.
Tetapi orang tuaku meminta kami untuk menikah saja, karena menurut mereka itu lebih baik dari pada kami berpacaran. Antara faham dan tidak apa konsekwensi dari sebuah pernikahan, aku menurut saja apa kata orang tua, dan kami menikah.
Sampai saat ini aku masih sering bertanya dalam hati, apakah aku sudah siap mental waktu aku menikah dulu? Karena aku merasa aku hanya berjalan mengikuti air mengalir. Aku tidak tahu ternyata banyak sekali hal-hal yang seharusnya aku pelajari dan aku persiapakan sebelum aku memutuskan untuk menikah.
Tetapi nasi sudah menjadi bubur, toh pada akhirnya aku pun menjadi seorang istri dari suamiku. Seorang laki-laki yang aku kenal atau dekat pertama kali dalam hidupku. Di saat aku baru saja menginjak masa remaja.
Aku di boyong oleh suamiku dan kami tinggal bersama orang tuanya selama dua tahun. Awal-awal pernikahan, semua terasa baik-baik saja. Baru setelah rumah tangga kami berjalan tiga bulan, pelan-pelan sifat aslinya mulai kelihatan.
Dia suka mabok dan juga sering main tangan. Aku tidak bisa berbuat banyak, karena tidak ada yang perduli di rumah itu, bahkan mertuaku pun seolah menutup mata dengan sifat suamiku. Aku menyadari bahwa aku bukan siapa-siapa. Keluarga suamiku termasuk orang yang cukup berada dan memiliki kebun sawit. Dan suamiku membantu orang tuanya mengurus kebun sawitnya. Sedangkan aku berasal dari keluarga yang sangat miskin. Aku juga sangat merasakan kalau aku tidak sepenuhnya di anggap sebagai bagian dari keluarga.
Aku masih ingat sekali saat itu aku sdang mengandung sembilan bulan. Aku sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan suamiku yang suka main tangan. Sementara mertuaku tidak pernah menasehati suamiku, bahkan seolah tidak mau tahu dengan apa yang aku alami.
Akhirnya aku pun meninggalkan rumah dan pergi ke rumah kakakku yang kebetulan satu kampung dengan rumah suamiku. Akan tetapi, suamiku datang menjemput dan mengajakku pulang. Sebenarnya aku tidak mau ikut dengan suamiku, tetapi kakakku memintaku untuk ikut suamiku saja demi anak yang aku kandung.
Aku masih merasa trauma untuk kembali ke rumah mertuaku. Aku masih di rumah kakakku sementara waktu, dan akhirnya suamiku di belikan sebuah rumah kayu kecil yang bisa kami tinggali. Anak pertamaku pun lahir di tahun 2.000.
Aku kira suamiku akan berubah setelah kami punya anak. Tapi ternyata aku salah. Tabiat aslinya belum bisa berubah, masih suka mabok, temperamental dan kasar, meskipun kami memilki anak. Mudah sekali marah dengan hal-hal kecil yang tidak masuk akal.
Pernah pada suatu hari, aku di hajar oleh suamiku di depan anakku, yang ketika itu masih berusia lima tahun. Aku mencoba berteriak sekuatnya, dengan harapan agar ada orag yang mendengar dan menolongku. Karena di kampung kami yan berada di perkebunan kelapa sawit. Jarak antara rumah yang satu dengan yang lainnya sangat berjauhan.
Tapi untunglah, teriakanku terdengar oleh tetangga kanan kiri. Mereka pun semua keluar dari rumah dan mendatangi rumah kami, untuk melihat apa yang terjadi. Akan tetapi, emosi suamiku semakin menjadi ketika melihat banyak orang melihat apa yang dia lakukan. saat itu juga dia menjatuhkan talak.
Aku berlari menyelamatkan diri menuju ke rumah kakak iparku. Saat itu aku dalam keadaan pusing karena di hajar oleh suamiku. Dia mengejar aku ke sana, lalu terjadi pertengkaran antara suamiku dan kakak iparku. Tapi aku tidak lagi mengingat apa yang terjadi, karena aku jatuh pingsan. Setelah kejadian itu, ibu mertuaku baru menasehati suamiku agar merubah sikapnya.
Sementara aku sendiri, tidak pernah menceritakan apapun yang terjadi dalam rumah tanggaku kepada orang tuaku. Aku hanya bercerita pada kakak perempuanku saja. Aku tidak bicara pada orang tuaku karena aku tidak ingin membuat mereka khawatir. Untuk menyambung hidup dari hari ke hari saja mereka sudah susah, dan aku tidak mau menambah beban pikiran mereka dengan masalah rumah tanggaku.
Kakak-ku juga berusaha bicara dengan suamiku dan meminta agar tidak memperlakukan aku seperti itu. Pelan-pelan suamiku berubah sikapnya. Tapidi balik itu, dia justru melampiaskan kemarahannya kepada anak kami. Hingga pertengkaran -pertengkaran pun tidak bisa di elak-kan. Terjadi dan terjadi lagi di rumah kami.
Aku pun tidak tahu apa yang di sebut kebahagiaan dalam berumah tangga. Masalh demi masalah terjadi. Pertengkaran pun tak bisa di hindari. Semua itu membuat aku merasa tak sanggup lagi. Hingga aku meminta untuk bercerai.
#Bersambung ke-( part 4 )
Cerita in berdasarkan sharing/interiew dengan nara sumber.
Di tulis dan di narasikan oleh : Pena Novia
Komentar
Posting Komentar