KEMISKINAN MEMAKSAKU UNTUK BERHENTI SEKOLAH, DAN BEKERJA DI USIA YANG SANGAT DINI -(Part 1).
Perjalanan hidup seorang PMI bernama (Y.A), yang berasal dari sebuah kota (P). Dan saat ini masih bekerja di Singapura.
Hari ini, adalah hari yang di tunggu-tunggu. Hari minggu adalah hari libur bagi kebanyakan PMI yang bekerja di Singapura, khususnya PRT. Tentu juga untuk aku sendiri, yang selama enam hari dalam seminggu sudah bekerja di bawah penagawasan employer siang dan malam. Aku sudah membuat janji dengan beberapa teman untuk bertemu dan piknik bersama. Seperti biasa kita ke taman rekreasi atau tempat-tempat terbuka dan membawa makanan untuk kita santap bersama.
Di hari libur, selain kita bisa bertemu dan berpiknik, kita juga bisa saling berbagi tentang kondisi kita, sekedar untuk meluahkan beban pikiran yang kita pendam. Meskipun "mungkin" kita sama-sama tidak bisa menyelesaikan masalah yang lain, tetapi setidaknya kita saling mengerti dan merasa lega, yang pada akhirnya segala beban dan keluhan itu perlahan berubah menjadi tawa. Meskipun hanya sesaat, tapi mampu meringankan pikiran yang stress karena beban kerja, dan masalah-masalah lain yang aku hadapi.
Saat ini aku bekerja di Singapura selama kurang lebih 5 tahun. Aku berangkat ke Singapura karena bantuan seorang teman lama, yang waktu itu aku ketahui dia sedang pulang cuti ke indonesia, yang ternyata dia bekerja di Singapura.
Desakan ekonomi lah yang membawaku ke Singapura, meskipun aku hanya sempat bersekolah sampai kelas 2 SD saja. Aku yang sama sekali tidak tahu apa-apa, yang hanya bermodalkan nekad karena ingin merubah nasib dan masa depan yang lebih baik. Karena sulitnya mencari pekerjaan yang bisa memncukupi kebutuhanku sehari-hari.
AKU ADALAH ANAK KE 5 DARI 7 BERSAUDARA.
Aku di lahirkan di medan, lalu pindah dan di besarkan di sebuah kampung, di area perkebunan kelapa sawit di kota (PB). Orang tuaku adalah imigran dari jawa. Sebagai petani penggarap di perkebunan kelapa sawit, sejak kecil kami sudah terlatih untuk kerja keras.
Kami terbiasa melihat ibu dan bapak yang memulai aktivitasnya sejak pagi buta. Menyiapkan bekal seadanya untuk ke ladang, juga untuk anak-anak, meskipun sering kali hanya berupa nasi tanpa lauk. Aku dan saudaraku sering mencarimikan di sungai, atau mencari sayur-sayuran di perkebunan, sekedar untuk di jadikan teman makan nasi.
Kami sekeluarga memang hidup dalam kondisi yang sangat kekurangan. Bahkan kakakku yang nomer 2 dan 3, di berikan kepada orang lain untuk di asuh dan di jadikan anak angkat. Kami tidak bisa seperti anak- anak lainnya, yang menikmati dunianya dengan canda dan tawa, serta bermain tanpa beban. Kami sudah terbiasa hidup prihatin.
Bakhan ketika lebaran, kami merasa kalau kami berbeda. Ketika kami bersilaturahmi bersama anak-anak yang lain, seperti lazimnya anak anak pada umumnya. Kami sering di perlakukan berbeda. Bahkan ketika anak-anak yang lain di beri uang lebaran, kami hanya di salami saja. Tentu sebagai anak- anak aku sering bertanya pada orang tuaku, mengapa kami di perlakukan berbeda?
Ibu hanya bisa menangis dan mengatakan kalau kami tidak boleh berkecil hati dan harus menerima kondisi yang kami jalani. Kami bisa makan saja sudah bersyukur.
Sejak usia 6 tahun, aku sudah terbiasa membantu tetangga yang hifupnya lebih berkecikupan. Meski hanya sekedar mencuci piring, bersih - bersih rumah, kadang mencuci baju. Untuk mendapatkan upah, yang tidak selalu di beri uang, tapi kadang di beri makan saja.
AKU BEKERJA LAGI SEBAGAI PRT DI USIA 10 TAHUN
Saat usiaku menginjak 10 tahun, aku di tawari oleh tetanggaku tersebut, untuk bekerja di rumah kersbatnya yang tinggal di kota padang. Aku bekerja sebagai PRT. Namun setelah dua bulan bekerja, bapakku menjemputku dan di bawa pulang ke PK.
Tapi setelah dua minggu, aku kembali meninggalkan rumah untuk bekerja di kota PK, juga di tempat saudara dari tetanggaku tersebut, tapi saudara yang lain lagi.
Awalnya semua baik- baik saja. Hingga pada suatu malam, aku mengalami hal yang sangat membuatku merasa terpukul. Antara takut, sedih dan malu, bahkan hati ini merasa marah. Tapi sebagai anak-anak, aku tidak punya keberanian untuk bercerita, apalagi melawan.
#Bersambung ke - (part 2).
Cerita ini berdasarkan sharing / interview dengan nara sumber.
Di tulisa dan di narasikan oleh : Pena Novia
Komentar
Posting Komentar