DI BALIK SENYUM SEORANG PMI (Part 4)
Cerita sebelumnya : https://penanoviasg.blogspot.com/2020/09/di-balik-senyumku-ku-simpan-sejuta_29.html?m=1
Setelah kami menikah, suamiku tetap bekerja yang mengharuskan dia hanya pulang seminggu sekali, sementara aku tinggal bersama Umi, karena kebutuhan ekonomi yang pas-pasan, juga ada hutang ( keluarga ) yang harus aku bayar, aku berinisiative membantu keuangan keluarga dengan membantu teman berjualan online. Pekerjaan ini aku lakukan selama kurang lebih lima bulan. Setelah itu aku mengandung, namun sifat suamiku tidak ada perubahan.
Hingga tiba saatnya aku melahirkan seorang bayi perempuan. Kami sangat bahagia, terlebih lagi Umiku, yang sangat menyayangi cucunya dan memberikan perhatian yang berlebih kepada bayiku. Seperti pada umumnya orang tua yang sangat protektive dalam memberikan perhatian, yang terkadang jadi terkesan lebih cerewet dari aku sendiri dalam hal urusan anakku, aku sadari itu karena Umi terlalu menyayangi cucunya.
Tetapi suamiku, yang memang sifatnya agak temperamental menjadi tidak suka, sehingga sering terjadi pertengkaran antara aku dan dia, bahkan sampai dia memberiku pilihan yang sulit, antara pilih Umi atau dia.
Aku tetap bertahan dalam keadaan itu, semua demi Umi dan bayiku. Setelah bayiku berusia sebulan, aku kembali berjualan online, menjualkan barang temanku yang memiliki toko baju, selain untuk mencukupi klebutuhan keluarga, aku melakukan pekerjaan ini untuk menyelesaikan masalah (hutang) keluarga yang harus aku lunasi, bahkan pernah aku dan Umi tidak makan nasi selama dua hari, karena uang belanja memang juga tidak mencukupi, dan kami tidak punya tabungan, hingga akhirnya Umi menjual kalung untuk belanja kebutuhan dapur.
Di tambah lagi ASI-ku tidak lancar, sehingga untuk memenuhi kebutuhan gizi bayiku, aku di sarankan untuk memberikan susu formula sebagai pengganti ASI, yang tentu saja kebutuhan hidup juga semakin berat aku rasakan saat itu. Dalam kondisi seperti itu aku sadar kalau aku harus melakukan sesuatu untuk mencukupi kebutuhan kami, termasuk kebutuhan susu untuk bayiku, aku mencoba menghubungi saudaraku yang berada di Korea untuk meminjam uang buat modal usaha, agar aku bisa bekerja sambil menjaga bayiku, saudaraku- pun menyanggupi, tidak lama kemudian, setelah aku mendapat kiriman modal, aku membuka warung kebutuhan sehari-hari.
Alhamdulillah usahaku berjalan lancar sehingga aku bisa membantu mencukupi kebutuhan keluarga, usahaku- pun berjalan tanpa ada kendala hingga anakku berusia setahun. Sementara suami tetap dengan pekerjaannya, setidaknya kondisi ini bisa membuat aku merasa lebih baik meskipun sikap suamiku juga tidak berubah, tapi aku memilih untuk fokus mencukupi kebutuhan kami, karena aku juga tidak mau banyak menuntut, sehingga bisa meminimalisir konflik, pikirku.
Tetapi masalah lain mulai muncul, kami merasa ada gangguan yang tidak kasat mata, yang sulit untuk di jelaskan karena dalam hal seperti ini akan sulit mencari pembuktiannya. Kami juga tidak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi. Perlahan-lahan kami merasakan ada perbubahan yang terjadi, toko kami perlahan mulai sepi, pelanggan berkurang hingga keuangan yang seharusnya berputar untuk usaha, sedikit demi sedikit terpaksa di pakai untuk kebutuhan sehari-hari.
Atas kejadian-kejadian tersebut, aku berusaha meminta suamiku untu pulang setiap hari saja, karena kami merasa tidak terlalu nyaman, karena hanya ada aku, Umi dan bayiku saja. Tapi suamiku menolak dengan alasan tidak memungkinkan karena memang tempat dia bekeja juga cukup jauh.
Hingga pada satu hari sekitar tahun 2010, di saat aku pergi belanja dan bertemu dengan teman lamaku, dia ternyata bekerja di Singapura dan sedang pulang untuk cuti, setelah bertemu dan berbincang-bincang, aku mulai berpikir untuk bekerja di luar negeri. lalu aku bicara dengan Umi dan juga suamiku, untuk menyampaikan maksudku itu. Setelah melalui beberapa pertimbangan, aku pun mendapatkan ijin, Umi yang menjaga dan merawat anakku di rumah, sementara saat itu suamiku pun tidak bisa meninggalkan pekerjaannya.
Aku berangkat dan menjalani proses melalui sebuah PJTKI di Bekasi, tidak ada masalah yang berarti selama proses berjalan hingga aku di terbangkan ke Singapura di sekitar bulan july 2010.Sesampainya di Singapura, aku baru di beri tahu bahwa selama sembilan bulan, gajiku harus di potong untu membayar beaya penempatan, aku hanya mendapatkan sisa $10 setiap bulannya. Di dalam kontrak kerja yang harus aku tanda tangani telah tertulis, aku tidak mendapatkan hak libur selama dua tahun kontrak, bahkan tidak di bolehkan untuk memiliki HP. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain hanya menurut dan mengikuti apa kata mereka.
Di rumah itu aku sering di perlakukan dengan tidak baik, bahkan kadang aku mengalami kekerasan fisik, tapi aku tidak tahu harus bicara dengan siapa, karena aku sendiri tidak faham dengan hak dan perlindungan yang seharusnya aku dapatkan, tidak ada akses komunikasi dengan siapapun, kecuali dengan keluarga yang hanya dalam beberapa bulan sekali, itupun harus menggunakan tlp rumah, aku pun tidak ingin Umi mengetahui apa yang aku alami, karena aku tidak ingin membuatnya khawatir.
Setelah hutangku kepada agency lunas, aku mengirimkam gaji pertamaku ke suamiku, aku juga memintanya untuk memberikan sejumlah uang kepada Umi, tapi aku tidak bisa kirim uang setiap bulan, karena gajiku juga hanya di berikan tiga bulan sekali. Tidak lama setelah itu, suami memutuskan untuk berhenti bekerja, dengan alasan anak kami butuh perhatian. Aku pun hanya mengiyakan saja karena memang akan lebih aman bagi Umi dan anak kami, kalau suamiku di rumah, aku pun tetap bertahan meskipun kondisi kerjaku juga tidak begitu baik, aku bertahan semata-mata demi Umi dan anakku.
Aku bisa menyelesaiakn kontrak ku selama dua tahun, dan aku pulang setelah kontrak ku selesai.
Tapi apa yang aku temukan setelah aku sampai di rumah ?
#Bersambung ke part 4
Cerita berdasarkan sharing / interview dengan nara sumber.
Ditulis dan dinarasikan oleh : Pena Novia
Komentar
Posting Komentar