DI BALIK SENYUM SEORANG PMI ( Part 2 )
Cerita terpendam dari seorang PMI, sebut saja namanya (A), berasal dari kota (J), yang sekarang mash bekerja di singapura.
Cerita sebelumnya : https://penanoviasg.blogspot.com/2020/09/di-balik-senyumku-ku-simpan-sejuta.html?m=1
Kuambil sepedah onthelku dan aku mulai mengayuh perlahan menuju kampung sebelah. Pedal sepedah onthel itu terasa berat, roda- rodanya pun seolah enggan untuk melaju, ditambah lagi dengan tas ransel di punggungku yang berisikan berbagai macam rasa yang terbungkus terpisah-pisah, tapi semuanya ku masukkan di antara lipatan dan saku-saku ransel itu. Ada rasa ragu, takut dan sedih. Namun ada sebungkus harapan yang ku selipkan dengan sangat hati-hati, yang pada akhirnya, keberanian-lah yang menguatkan kakiku untuk terus mengayuh pedal.
Sampailah aku di rumah ayahku, ayah kandungku yang selama ini ku anggap kakak iparku. Dengan sangat berhati-hati aku sampaikan maksud kedatanganku.
Yah...Aku dapat kabar dari dosenku, bahwa akan ada ujian, dan aku harus membayar uang ujian tapi tabunganku tidak cukup, sementara ayah juga tahu kalau Abah sedang sakit, kalau ayah ada uang bantu saya menutup kekurangannya agar aku bisa ikut ujian.
Aku sadar bahwa ayahku juga harus menghidupi adik-adikku, hal itulah yang membuat aku merasa berat untuk oergi dan meminta bantuannya, tapi dalam kondisiku saat itu, aku tidak ada pilihan lain, dan ayahlah orang pertama yang ada dalam pikiranku, yang mungkin bisa membantuku.
Ayahku menghela nafas dan menjawab dengan pelan. Ndhuk...Bukan ayah tidak mau membantumu, tentu saja ayah ingin yang terbaik untuk masa depanmu, tapi pada saat ini ayah juga tidak punya tabungan, sisa gaji ayah hanya tinggal 250 ribu saja, dan itu pun untuk beaya hidup dengan adik-adikmu. Begini saja ndhuk, coba kamu datang ke ibumu, mungkin dia bisa bantu, karena Yang aku tahu, suaminyapun orang cukup berada. Maaf ya ndhuk, ayah tidak bermaksud untuk mengajarkanmu memanfaatkan orang lain, tapi tidak ada salahnya kamu mencoba dulu, bagaimana hasilnya nanti, kamu kasih tahu ayah biar ayah coba cari 'pitungan' ke teman- teman ayah.
Setelah itu aku pun pamit dari rumah ayah, dan kembali mengayuh sepedah onthelku menuju ke rumah ibu. Waktu itu siang hari, dan ibuku sedang makan siang, aku pun mengucap salam dan menemui ibu. Setelah ibu menyelesaikan makan siangnya, aku menyampaikan maksud kedatanganku yang membutuhkan bantuan ibu untuk menutupi kekurangan beaya ujianku.
Tapi aku tidak menyangka, kalau tanggapan ibuku tidak seperti yang aku harapkan, tapi justru membuatku menangis karena seakan tidak memberikan dukungan atas pendidikanku, dan malah menjatuhkan semangatku, seolah-olah aku tidak perlu untuk melanjutkan studyku.
Aku menangis, sedih, dan kecewa, aku marah pada keada'an saat itu, kenapa semua seolah datang bertubi- tubi. Tapi di sisi lain aku masih berfikir, mungkin waktunya tidak tepat atau mungkin juga ibu sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja saat itu, bahkan kondisi mentalku sendiri juga sedang down, sehingga sangat sensitive dalam menerima perkataan ibu.
Akupun pamit pulang, aku tidak pulang langsung ke rumah, tapi menuju ke rumah ayahku lagi dan menyampaikan ke ayah, kalau ibu tidak bisa membantu. Ayah akan berusaha menghubungi teman- temannya untuk mencari pinjaman dulu, dan meminta aku untuk menunggu kabar keesokan harinya.
Aku pulang ke rumah dan menemui Umi, terpaksa aku bercerita semuanya agar umi juga tahu bahwa aku sudah berusaha agar bisa mengikuti ujian.
Umi menawarkan untuk menjual cincin pernikahannya untuk dijual saja. Tentu saja aku menolaknya dengan halus, karena aku tahu cincin itu sangat berharga bagi Umi dan Abah, aku menolak dan mengatakan, tidak apa-apa Umi, aku memilih untuk menunda mengikuti ujian kali ini, semoga nanti ada rejeki.
Keesokan harinya ayahku datang untuk menjenguk Abah, ayah menanyakan keadaan Abah, dalam pembicaraan mereka, Abah menitipkan aku pada ayah, karena Abah ingin aku bisa mandiri nantinya. Lalu ayah minta maaf karena tidak berhasil mendapatkan pinjaman untuk membayar uang ujianku. Abah shock dan kondisinya langsung drop, lalu kita segera embawa Abah ke puskesmas terdekat dengan meminjam mobil bak terbuka milik tetangga.
Tapi sesampai di puskesmas, jarum infus tidak bisa masuk dan Abah memaksa minta pulang, dengan berat hati kita pun membawa Abah pulang ke rumah. Jam dua dini hari Abah masih membangunkan aku yang tertidur di dekatnya untuk sholat malam, aku dan saudara yang lain pun sholat malam dan kita lanjutkan membaca alqur'an sambil menunggu waktu sholat subuh.
Hari berikutnya kondisi Abah pun makin melemah, aku dan saudara- saudaraku berada di sampingnya bergantian, hingga saat dini hari menjelang subuh, aku memegang tangan Abah dan bicara pelan. Abah... Kalau Abah memang mau pergi, kami ikhlas Abah, jangan khawatirkan Umi, Aku janji akan menjaga Umi dan membahagiakan Umi, begitu juga dengan saudara yang lain. Saat itu, waktu sholat subuh pun tiba, pakde dan saudara yang lain menuju ke masjid untuk sholat subuh.
Saat itulah Abah menghembuskan nafas terakhirnya, Abah pergi untuk selama - lamanya. Satu hal yang akan terus ku ingat dari pesan Abah sebelum pergi. Ndhuk... jadilah orang baik, dan tetaplah jadi orang baik.
#Berlanjut ke part 3
Cerita berdasarkan sharing /interview dengan nara sumber
Ditulis dan dinarasikan oleh : Pena Novia
Komentar
Posting Komentar